Setelah sekian lama tangan kecil ini tidak menuliskan apa yang terpikirkan, maka hari ini tangan ini tergerak oleh suatu gagasan, sebuah pelajaran yang didapat dari kunjungan singkat ke rumah Bulek yang jaraknya hanya beberapa rumah dari hunian yang aku tempati.
Sederhana, tapi amat mengena-bagiku.
...
Mengucap salam, lalu masuk ke rumah sederhana itu. Rumah Bulek.
Nggak ada yang di rumah, hanya Bulek sendiri yang saat itu sedang menjemur pakaian. Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya aku duduk di salah satu kursi yang ada di sudut ruangan, menemani bulek yang nyambi nyetrika tumpukan baju. Nggak usah heran, beliau membuka usaha laundry secara mandiri. Jadi semua hal beliau kerjakan sendiri. Mulai dari mencuci, hingga melipat menjadi tumpukan-tumpukan pakaian yang rapi dan wangi.
Tiga sepupuku ternyata sedang pergi berenang. Itulah informasi pertama yang aku dapatkan di awal kunjunganku ke rumah itu. Karena anak-anak nggak ada di rumah, otomatis nggak ada hal yang bisa aku lakuin kecuali memperhatikan bulek bekerja, dan yang jelas, sambil mengobrol.
Dimulai dari hal-hal yang ringan seputar laundry, hingga hal-hal lain yang jauh dari masalah cuci mencuci, seperti tentang pondok. Maklum lah, aku dan anak pertama beliau adalah anak pondok.
"Dah pernah tak ceritain belum to mbak," ucap Bulek mengawali sebuah topik baru. Secara spontan kujawab apa, dan setelah itu beliau mulai bercerita tentang sebuah kecelakaan di sekitar DIY.
Tokoh dari cerita ini adalah dua remaja putri yang tinggal di suatu asrama di sekitar Jogjakarta. Kedua anak ini keluar dari asramanya tanpa izin dari pihak pengasuh. Mereka merasa bebas, karena telah melalui masa tegang, masa usai Ujian Nasional (UN). Mengunjungi sebuah mall, dan kemudian meminjam sebuah motor dari seorang kawan yang tinggal di Jogja untuk menjemput temannya yang lain. Dan naasnya, dalam perjalanan tersebut, mereka tertabrak sebuah kendaraan besar-entah truk atau bis- yang membuat nyawa satu dari keduanya melayang dan kritis bagi yang satunya. Menyedihkan.
"Makanya dek, Ama nggak tak bolehin pulang dari pondok sendiri." Itualah kesimpulan yang diambil Bulek, walaupun konteks ceritanya berbeda -karena dalam cerita beliau tadi kesalahan utama ada pada dua anak yang bisa kita sebut 'kabur' dari asramanya-.
"Apa-apa kalau orang tua bareng anaknya kan rasanya lebih tenang."
"Apa-apa kalau orang tua bareng anaknya kan rasanya lebih tenang."
...
Cukup satu kalimat itu menghentak pikiranku.
Teringat kembali pada beberapa hari yang lalu saat hati merasa amat berat dan mungkin ada rasa jengkel di dalamnya. Ingin pergi ke Surabaya untuk mengikuti sebuah kompitisi tahfizh, tapi ijin tidak diberikan. Alasan orang tua memang logis, tapi yang namanya emosi ya, begitulah. Walau tidak ada kenekatan karena ingat 'Ridha Allah adalah ridha orangtua', aku ikut.
Hahaha, sudah amat sering ungkapan itu kita dengar, bahwa orangtua akan selalu menginginkan yang terbaik buat anaknya. Sering sekali. Namun tak banyak orang yang mau meresapinya sedemikian rupa, meyakinkan dalam hati bahwa begitulah adanya. Bila kita dapat menghayati dan membenarkan pernyataan ini, maka apa pun keputusan orangtua, selama itu baik adanya pasti akan kita terima, walaupun berlainan dengan keinginan kita. Aku bersyukur, dan amat bersyukur disadarkan dengan sebuah kalimat pendek dari mulut salah satu orangtua dari empat orang anak. Memang bukan orangtuaku sendiri, tapi hal ini malah lebih mengena, lebih menyadarkan, karena terkadang ucapan orangtua kita sendiri lebih sering tersepelekan.
Hari ini aku belajar, untuk lebih menghargai orangtuaku, untuk lebih berbakti kepada mereka. Karena kuyakin apa yang mereka inginkan adalah yang terbaik buatku.
...
Dari Abdullah bin 'Amr beliau berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Ridha Allah adalah ridha orangtua, dan murka Allah adalah murka orangtua." (HR. Al-Baihaqy)
0 komentar:
Posting Komentar