Sabtu, 21 November 2015

Rumah Tanpa Jendela

Masih lekat memori itu. Balutan perasaan yang melingkupi diri saat pertama kali tiba di ibu kota. Ya, euforia sejatinya, karena hari itu aku masih ditemani orang-orang yang amat dicintai, seluruh anggota keluarga genap menemani, walau sejatinya ada banyak tanggungan yang mereka miliki, tapi tak tanggung-tanggung, semua dilepaskan demi mengantar anak paling kecil dari keluarga ini. Ya, mengantarkanku.

Rumah itu tampak biasa saja. Terlihat mungil bahkan. Bagaimana tidak, rumah-rumah yang disekitarnya hampir semua berpagar tinggi dengan anjing yang siap menyalak tiap kali ada orang asing yang iseng mengganggunya. Sedang rumah ini, terlihat malu-malu.

Tak ada yang spesial, baik tampak luarnya, maupun tampak dalam yang beberapa menit kemudian kuketahui dari pijakanku ke sana. Mushola yang dipenuhi buku-buku di atas raknya, ruang tengah yang dipenuhi dengan ranjang, dapur yang berada tepat di depan kamar lantai dua; baiklah, kesan pertamanya tidaklah benar-benar apik di mataku.

Hari berganti hari. Hampir dua minggu aku masih saja menangis. Ya, bulan September itu setengahnya kuhabiskan dengan mengeluhkan rumah yang jadi tempat tinggalku di kota perantauan ini. Bukan karena fasilitasnya kurang di sana-sini, bukan. Namun, ketiadaan jendela dan hujanan kenangan lama-lah yang menjadi faktor utamanya. Secara psikis, aku belum benar-benar siap tuk ke Jakarta.

Bagaimana tidak? Aku dipanggil mendadak tuk hadir di sana esok harinya, sedang sebelumnya sudah berminggu-minggu aku menata diri, membuat berbagai planning 'kalau tidak keterima di LIPIA', dan begitulah, planning itu seakan menghapuskan kemungkinan tuk bersekolah di sana. Dan mimpi itu hadir dengan tanpa tidur.

Tanpa jendela. Itulah sisi kurang dari rumah ini yang benar-benar aku garis bawahi. Bukan sungguhan, tapi akses menatap langsung langitlah yang tidak, ataupun kurang ada. Secara, aku masih tak betah, dan memutuskan tuk  membandingkan kehidupan Klaten dan kehidupan Jakarta yang memang sangat berbeda.

Yap, bagiku yang memang mencintai langit, hal sekecil itu dapat menjadi masalah besar buatku.
.

Seiring berjalannya waktu, aku mulai belajar, belajar tuk menerima. Ya, segala sesuatu memang akan sangat berat pada awalnya, kan? Begitupula aku. Setelah berulangkali selftalking dijalankan, dan atas ijinNya, alhamdulillah banyak hal baik yang bisa terlihat kembali. Jakarta memang tak seindah Klaten, tapi ia masih tetap memiliki keindahan.

Dan di rumah tanpa jendela ini, aku pun mulai bisa menerima segalanya, dengan senyum tulus yang dulu sempat menghilang beberapa saat. Belajar tuk berorganisasi lewat LDK yang masih terbilang muda, berkreasi bebas tiap senin saat jadwal masak, mendengarkan obrolan kakak kelas saat menelpon keluarganya, bahasa mereka amat beragam, dan yang pasti belajar hidup bersama dengan orang-orang yang berlatar belakang berbeda; Padang, Aceh, Makassar, dan yang lainnya. Dan atas keberagaman itu, terjadilah berbagai kekonyolan yang dapat membuat diri tersenyum.

Entah akan berapa lama tinggal di Rumah Tanpa Jendela ini, yang jelas, semoga selama berada di sini bisa mengambil kemanfaatan sebanyaknya, pun memberi kemanfaatan yang sebanyaknya pula. :))

Lokasi: South Jakarta, South Jakarta

0 komentar:

Posting Komentar

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com