Aku mendesah pendek di hadapan layar leptopku. Melepaskan kacamata, lalu meregangkan kedua tangan dan berusah meluruskan kaki-kaki di bawah meja yang mulai kesemutan. Aku menatap kalender yang ada di sisi laptop, hampir setengah tahun aku berada di rumah, melakukan berbagai rutinitas perkuliahan dan segala tugasnya di hadapan layar kecil ini. Ya, virus Covid-19 yang hadir di tahun 2020 ini benar-benar menggemparkan dunia, sebagaimana cerita-cerita di novel science fiction yang diawali dengan kehadiran monster atau wabah besar yang merusak tatanan dunia, atau bahkan menghabisi umat manusia. Na'udzubillah.
Sebagai seorang yang introvert, kondisi yang terjadi beberpa bulan terakhir ini tak begitu menggangguku. Sebab, selama segala sesuatu bisa aku dapatkan di rumah, kenapa pula aku harus repot-repot keluar? Toh aku bisa menghemat tenaga dan uang yang biasa aku pakai untuk pergi ke satu tempat ke tempat lainnya. Iya, memang tak masalah bagiku, tapi aku tahu di luar sana banyak orang yang terkena dampak ekonomi sebab pandemi ini, dan aku benar-benar tidak tahu harus bagaiman kecuali hanya mengikuti beberapa kegiatan donasi yang sekiranya disalurkan ke mereka.
Kembali ke kehidupanku. Sebenarnya, aku cukup merasa lelah juga, seakan terkurung dalam ruang yang ya kau tahulah, tak banyak yang bisa kulakukan. Hampir setiap hari kegiatanku bisa ditebak, antara memang menghabiskan waktu di depan leptop mengurusi hal-hal yang serba penuh atran, atau justru sebaliknya, melakukan sesuatu yang aku tahu tak ada faedahnya. Membaca cerita fiksi kesana kemari dan tenggelam dalam dunia imajinasi tentunya. Ya, meski setua ini aku masih saja menikmati hal-hal yang demikian. Menyedihkan.
Aku kembali menghela napas sembari melihat langit-langit kamar, kebiasaan sejak kecil ketika melamun.
Di tengah asiknya lamunanku, aku mendengar suara mesin jahit bekerja. "Ah, siapa yang sedang menjahit?"
Aku melangkah ke ruang belakang, dan menemukan ibu yang sedang asik di depan mesin jahit tua itu. Dan ya, kalau sudah begitu ibu sudah tak bisa diganggu lagi, mau dipanggil berkali-kali pun ia takkan dengar. Terlalu asik. Tak ingin mengganggu ibu, aku perhatikan saja dari jauh sembari menebak apa yang hendak beliau jahit.
"Seingatku ibu tidak membuka gudang untuk mencari kain, juga tak pernah keluar untuk membeli kain," aku menggumam sembari mengingat bahwa beberapa hari yang lalu beliau memang mengekuhkan harga baju daster yang begitu mahal. Membandingkan dengan apa yang aku beli lima tahun silam di pasar Tanah Abang, seratus ribu tiga helai daster!
Ibu masih sibuk, dan aku malas menebak lagi, kutinggalkan ibu begitu saja, sembari kembali ke kamarku.
...
Malam hari ibu memamerkan jahitannya. Dan kau tahu, tebakanku memang benar bahwa beliau menjahit sebuah daster, dan ternyataa bahan daster tersebut adalah seragam batik ibu yang sudah tidak terpakai lagi! Beliau potong bagian lengan, lalu disambungkan dengan bagian bawahnya agar lebih panjang! Aduhai, aku tak habis pikir dengan ibuku ini; ibu yang memang sangat jarang memiliki atau membeli barang yang baru, kecuali memang barang lamanya sudah benar-benar tidak bisa terpakai, atau dalam keadaan sangat butuh dengan hal yang baru.
![]() |
source: Pinterest |
Tapi, sungguh aku tidak habis pikir dengan ibu yang mengubah seragmnya menjadi daster. Ibarat mengubah sesuatu yang sudah tidak terpakai lagi, atau sesuatu yang sudah tak menyenangkan lagi menjadi sesuatu yang mempunyai nilai lebih baik. Aku benar-benar geleng kepala.
Kupandang kembali leptopku yang sudah menemani perjalanan setangah tahun ini dengan segal tugas dan kesibukanku. Tak menyenangkan memang, tapi kenapa aku tak merubah keadaan ini menjadi sesuatu yang lebih menyenangkan sebagaimana ibuku yang mengubah seragam batiknya menjadi daster?
Ah ya, memang aku sendiri lah yang harus 'menjahit baju' kehidupanku senyaman mungkin. :')
Kartasura, 11 Agustus 2020