Rabu, 09 Maret 2016

Kegunaan Menghafal Qur'an dan Ilmu Diniyyah


Tinggal menghitung jari, kehadiran ujian mid semester semakin dekat. Ya, jadwal yang kami miliki di kampus LIPIA memang tak jauh berbeda dengan jadwal murid SMA, kami tak punya banyak kesamaan dengan jadwal di kampus lain. Lihat saja, kalau yang lainnya satu semester memakan waktu enam bulan, maka kami dengan ajaibnya hanya cukup menempuh empat bulan. Terlihat menyenangkan memang karena kesannya kami bisa cepat mendapat liburan, tapi hei, lihat saja betapa keras perjuangan kakak kelas kami dalam melahap kitab-kitab tebal yang aduhai, seharusnya mereka punya waktu lebih lama untuk mengolah dan lalu menelan kitab tersebut. Yang jelas, kalau bisa sadar dengan penuh kesadaran, kami sedang ditempa.

Yap, ijinkan aku menyampaikan sebuah kisah indah yang beberapa hari yang lalu dikisahkan oleh seorang guru kami yang sangat kami hormati. Seorang ustadzah yang lahir di Kerajaan Saudi Arabia, tapi kemudian menetap di Indonesia sejak saat sejatinya beliau duduk di bangku kelas dua Madrasah Tsanawiyyah, atau kelas dua SMA. Datang murni sama sekali tak memahami bahasa Indonesia, tapi sekarang beliau telah mampu berdialog dengan bahasa negara kita ini dengan lancar-walau sama sekali tak pernah memraktekkannya di ma'had karena selain bahasa arab, segala bahasa adalah terlarang-.

As what I mention on the title, ini adalah tentang apa gunanya kita menghafal.
...

Alkisah, di suatu waktu di suatu tempat yang entah tak disebutkan, ada seorang anak yang mengadu pada ayahnya tentang betapa susahnya ia dalam menghafal, yang dalam hal ini adalah menghafal alqur'an.

"Ayah, mengapa aku harus bersusah payah menghafal sedang tak ada satu pun yang kemudian melekat dalam kepalaku", ujar sang anak tersebut.

Sang ayah pun tak hendak menjawab banyak, beliau malah memerintahkan anaknya untuk mengambil sebuah keranjang bambu yang biasa dipakai untuk menyimpan arang hitam. Tanpa bertanya, sang anak pun mengambilnya.

"Wahai anakku, pergila engkau ke pantai, dan bawalah air laut kemari dengan keranjang tersebut", perintah sang ayah kemudian.

Dengan sedikit keheranan, bocah itu pun melangkahkan kakinya menuju pantai dan segera menciduk air pantai dengan keranjang yang ia bawa di atas punggungnya. Dengan langkah yang tenang, ia kembali ke rumah. 

Namun, seperti yang kita tahu bahwa keranjang yang terbuat dari bambu bukanlah suatu wadah yang rapat dan tak memiliki celah, justru sebaliknya, berbagai celah malah berjajar rapi menjadi sebuah pola. Dan dengan segera sang anak pun menyadari bahwa tak ada sedikit pun air tyang tersisa di dalam keranjangnya, ia pun kemudia kembali menuju pantai, mencoba memperbaiki kesalahannya.

Ia pun mempercepat langkahnya. Ia mengambil, dan lalu pulang. Namun, masih sama, tak banyak air yang tersisa. Ia pun menambah kecepatannya lagi, lagi, dan lagi.

Hingga entah putaran yang keberapa, sang ayah pun menghentikan langkah anaknya.

"Cukup anakku, cukup", ujarnya. "Sudahkah kau mengerti mengapa kita harus selalu berusaha menghafal al-qur'an maupun ilmu diniyah yang lainnya?"

Sang anak pun menggeleng, masih tak paham hubungan dari pertanyaannya di awal percakapan, perintah ayahanda, hingga kemudian pertanyaan beliau yang terakhir.

"Lihatlah keranjang yang awalnya hitam tadi, kini ia telah menjadi bersih tersebab air laut yang telah berusaha kau bawa. Ya, memang tak banyak yang berhasil kau bawa kemari, tapi sekali lagi lihatlah keranjang yang awalnya hitam tadi. Demikianlah hati kita, nah. Ia adalah bongkahan kecil dari tubuh kita yang mudah sekali terkotori dengan noda-noda kesalahan yang telah kita perbuat. Banyak sekali hal yang demikian mudahnya menodainya. Bagaimana kita membersihkannya, nak? Ya, dengan al-qur'an tersebut, dengan ilmu-ilmu diniyah", sang ayah menatap dalam mata anaknya. "Jadi, memang bukanlah jadi tujuan utama kita untuk mengahafal al-qur'an dengan cepat, dalam waktu sekian hari dan lalu sudah, selesai. Namun dibalik itu, kita amat sangat membutuhkannya untuk membersihkan kotoran di hati kita."

Sang anak terperangah, ia mulai memahami pembicaraan ayahnya.

"Jadi, jangan pernah lelah bergaul dengan al-qur'an, wahai anakku, jangan pernah bosan. Toh kalau kau merasa kesulitan dalam menghafalnya, maka mohonlah pada Allah agar Ia berkenan meluaskan hatimu untuk rela dimasuki oleh kalam-kalamNya. Bukankah Allah Sang Maha Pengatur segalanya?" lanjut sang ayah dengan senyum lebar.

Putranya pun ikut tersenyum, lalu menyalami dan mencium tangan ayahnya. Dan kemudian pamit untuk segera membersihkan diri dan kembali berduaan dengan al-qur'annya.
...

Entah kisah ini terjadi dimana, dan juga entah nyata ataupun tidak, yang jelas kita hanya perlu mengambil pelajaran darinya. Bahwa al-qur'an (dan ilmu dinniyyah) adalah suatu kebutuhan kita, adalah makanan hati kita, yang mana terlalu membahayakan bila tak dipenuhi. Layaknya kebutuhan pokok yang lainnya, kita bisa mati tanpanya, mati hati yang dapat menjerumuskan pada keburukan-keburukan yang na'udzubillah min dzalik.

Semoga Allah memudahkan kita semua menjadi salah satu dari ahli-keluarga- Allah dengan menjadi penjaga al-qru'an. Allahu musta'an.

Jakarta, 9 Maret 2016
04:27pm
Lokasi: Jl. Jatipadang Utara, Ps. Minggu, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12540, Indonesia

0 komentar:

Posting Komentar

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com