BUYA HAMKA
Namanya Haji Abdul Malik Karim
Abdullah, atau lebih dikenal dengan nama Hamka. Lahir di Maninjau, Sumatra
Barat pada tahun 1908. Ia adalah putra dari Syeikh Abdul Karim, seorang ulama
yang cukup terkenal di Sumatra kala itu. Abdul Karim pun memasang harap agar
anak sulungnya dapat meneruskan perjalanan dakwah yang telah dititinya.
Hal
yang membedakan Buya Hamka –demikianlah beliau sering disebut—dengan
ulama-ulama lain adalah multitalentanya. Tak hanya menjadi seorang ulama,
beliau pun terjun dalam dunia politik dan sastra. Dengan kopiah hitam dan
suaranya yang khas saat menjadi pengisi kuliah shubuh di RRI dan mimbar Jumat
di TVRI saja sudah cukup membuatnya dikenang hingga hari ini, apalagi ditambah
jasa-jasanya yang lain.
Hamka yang jadi ulama itu memiliki
kegemaran membaca sejak kecil, mulai dari buku agama islam, sejarah, sosial,
politik, dan sastra. Usia tiga belas hingga empat belas tahun, Hamka telah
membaca buku-buk pemikiran HOS Tjokroaminoto, KH. Mas Mansyur, Ki Hadikusumo,
juga karya Muhammad Abduh dari Arab dan Djamaludin Al Afghani. Kecintaannya
pada ilmu pun mengantarkannya untuk merantau ke tanah Jawa, belajar berbagai ilmu
langsung dari sumbernya. Tak cukup dengan tanah Jawa, di usia delapan belas
tahun Hamka menjadikan kota Mekkah sebagai tujuan rantau berikutnya, belajar
bahasa arab dan ilmu agama. Tujuh tahun merantau, Hamka pulang menjadi seorang
ulama.
Membaca dan menulis merupakan dua
hal yang tak dapat dipisahkan. Maka bagi Buya Hamka yang mencintai membaca,
menulis juga merupakan makanan sehari-harinya. Karya-karyanya tersebar luas dan
bahkan masih bisa dinikmati hingga hari ini. Tak hanya di bidang agama, sejarah,
sosial, budaya, tentang tasawuf dan tentu saja sastra jadi tema-tema tulisannya.
Dua dari sekian banyak roman Hamka pun telah diangkat ke layar lebar: Di
bawah Naungan Ka’bah dan Tenggelamnya Kapal Van der Wijck. Sedangkan
buku tafsir yang ditulisnya, Tafsir Al Azhar adalah sebuah karya fenomenal
yang diakui hingga negri tetangga, ditulis saat beliau mendekap di bui pada tahun
1964-1966.
Dalam bidang politik, pada tahun
1955, Hamka pun ditunjuk menjadi anggota Konstituante dari Partai Masyumi hingga
tahun 1965, yakni saat Presiden Soekarno membubarkan Majelis Konstituante
tersebut.
Ulama yang pernah menjabat sebagai
ketua MUI dan mengeluarkan fatwa besar tentang haramnya umat islam mengikuti
perayaan Natal bersama—yang menggemparkan Pemerintahan, dan membuatnya mundur
dari kursi ketua MUI sebab tak mau mencopot fatwa tersebut-, serta sosok yang
pernah mendapat gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al Azhar tahun 1961
ini memiliki beberapa pegangan hidup yang kuat. Diantaranya adalah: satu, selalu
menjalankan sesuatu dengan niat karena Allah, nasi sabangkuih dan tinju
gadang ciek. Artinya, niat karena Allah harus diyakini, tidak
terombang-ambing dengan niat yang lain.
Dua, kegiatan apapun yang dilakukan harus dengan kesiapan
logistik yang cukup, walau hanya dengan sebungkus nasi.
Tiga, jangan pernah merasa takut, gentar dan mudah
menyerah. Dalam mengambil keputusan harus tegas dan tidak ragu-ragu, serta
berpikir jernih.
Jumat, 24 Juli 1981, Buya Hamka
menghembuskan napas terakhirnya. Kabar kematiannya pun tersebar cepat lewat
TVRI, RRI dan stasiun tv dan radio yang lainnya. Belum genap satu jam, jalan
Raden Fatah –tempat dimana rumah Hamka berada- telah dipenuhi oleh mobil yang
melayat. Indonesia berduka, kehilangan salah satu sosok ulama hebatnya.
Jakarta, 3 Maret 2018
(Sumber: Ayah… karya Irfan Hamka)
0 komentar:
Posting Komentar