Sabtu, 03 Maret 2018

Buya Hamka

BUYA HAMKA

Namanya Haji Abdul Malik Karim Abdullah, atau lebih dikenal dengan nama Hamka. Lahir di Maninjau, Sumatra Barat pada tahun 1908. Ia adalah putra dari Syeikh Abdul Karim, seorang ulama yang cukup terkenal di Sumatra kala itu. Abdul Karim pun memasang harap agar anak sulungnya dapat meneruskan perjalanan dakwah yang telah dititinya.

                Hal yang membedakan Buya Hamka –demikianlah beliau sering disebut—dengan ulama-ulama lain adalah multitalentanya. Tak hanya menjadi seorang ulama, beliau pun terjun dalam dunia politik dan sastra. Dengan kopiah hitam dan suaranya yang khas saat menjadi pengisi kuliah shubuh di RRI dan mimbar Jumat di TVRI saja sudah cukup membuatnya dikenang hingga hari ini, apalagi ditambah jasa-jasanya yang lain.

Hamka yang jadi ulama itu memiliki kegemaran membaca sejak kecil, mulai dari buku agama islam, sejarah, sosial, politik, dan sastra. Usia tiga belas hingga empat belas tahun, Hamka telah membaca buku-buk pemikiran HOS Tjokroaminoto, KH. Mas Mansyur, Ki Hadikusumo, juga karya Muhammad Abduh dari Arab dan Djamaludin Al Afghani. Kecintaannya pada ilmu pun mengantarkannya untuk merantau ke tanah Jawa, belajar berbagai ilmu langsung dari sumbernya. Tak cukup dengan tanah Jawa, di usia delapan belas tahun Hamka menjadikan kota Mekkah sebagai tujuan rantau berikutnya, belajar bahasa arab dan ilmu agama. Tujuh tahun merantau, Hamka pulang menjadi seorang ulama.

Membaca dan menulis merupakan dua hal yang tak dapat dipisahkan. Maka bagi Buya Hamka yang mencintai membaca, menulis juga merupakan makanan sehari-harinya. Karya-karyanya tersebar luas dan bahkan masih bisa dinikmati hingga hari ini. Tak hanya di bidang agama, sejarah, sosial, budaya, tentang tasawuf dan tentu saja sastra jadi tema-tema tulisannya. Dua dari sekian banyak roman Hamka pun telah diangkat ke layar lebar: Di bawah Naungan Ka’bah dan Tenggelamnya Kapal Van der Wijck. Sedangkan buku tafsir yang ditulisnya, Tafsir Al Azhar adalah sebuah karya fenomenal yang diakui hingga negri tetangga, ditulis saat beliau mendekap di bui pada tahun 1964-1966.

Dalam bidang politik, pada tahun 1955, Hamka pun ditunjuk menjadi anggota Konstituante dari Partai Masyumi hingga tahun 1965, yakni saat Presiden Soekarno membubarkan Majelis Konstituante tersebut.

Ulama yang pernah menjabat sebagai ketua MUI dan mengeluarkan fatwa besar tentang haramnya umat islam mengikuti perayaan Natal bersama—yang menggemparkan Pemerintahan, dan membuatnya mundur dari kursi ketua MUI sebab tak mau mencopot fatwa tersebut-, serta sosok yang pernah mendapat gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al Azhar tahun 1961 ini memiliki beberapa pegangan hidup yang kuat. Diantaranya adalah: satu, selalu menjalankan sesuatu dengan niat karena Allah, nasi sabangkuih dan tinju gadang ciek. Artinya, niat karena Allah harus diyakini, tidak terombang-ambing dengan niat yang lain.

Dua, kegiatan apapun yang dilakukan harus dengan kesiapan logistik yang cukup, walau hanya dengan sebungkus nasi.

Tiga, jangan pernah merasa takut, gentar dan mudah menyerah. Dalam mengambil keputusan harus tegas dan tidak ragu-ragu, serta berpikir jernih.

Jumat, 24 Juli 1981, Buya Hamka menghembuskan napas terakhirnya. Kabar kematiannya pun tersebar cepat lewat TVRI, RRI dan stasiun tv dan radio yang lainnya. Belum genap satu jam, jalan Raden Fatah –tempat dimana rumah Hamka berada- telah dipenuhi oleh mobil yang melayat. Indonesia berduka, kehilangan salah satu sosok ulama hebatnya.
           
Jakarta, 3 Maret 2018
     (Sumber: Ayah… karya Irfan Hamka)

0 komentar:

Posting Komentar

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com